Rabu, 30 Maret 2011

Adil di Sini, Sejahtera di Sana


YUSUF Supendi menyebutnya "surat sakti". Dibungkus amplop kecil, risalah dilampirkan pendiri Partai Keadilan-kini Partai Keadilan Sejahtera-itu dalam laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin pekan lalu. "Ini bahan permulaan," kata pria 53 tahun itu. "Kami siap membuktikan di pengadilan."
Menurut Yusuf, surat dalam amplop kecil itu ditulis Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syura, organ tertinggi Partai Keadilan Sejahtera. Isinya penghentian pemeriksaan oleh dewan syariah wilayah Jakarta terhadap dugaan penggelapan uang oleh Anis Matta, sekretaris jenderal. Anis merupakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun Hilmi mengelola lembaga pendidikan di Bandung.
Yusuf bukan anak bawang di Partai Keadilan Sejahtera. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Syariah merangkap anggota Majelis Syura periode 2000-2005. Ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009. Ia pun menempati posisi penting dalam struktur gerakan dakwah Jamaah Ikhwanul Muslimin Sedunia, yakni sekretaris jenderal untuk sembilan negara di Asia dan Pasifik, di antaranya Indonesia, Malaysia, dan Australia. Di kalangan pendakwah, ia dipanggil Abu Fawwas.
Karena keseniorannya, tindakan Yusuf membuka dugaan kongkalikong di partai yang mengusung slogan "bersih dan peduli" itu jadi heboh. Apalagi inilah untuk pertama kalinya tokoh senior menentang elite partai peraih 7,88 persen suara pada Pemilihan Umum 2009 itu. Para petinggi partai itu meredam "serangan" Yusuf dengan mengumumkan bahwa sang juru dakwah telah dipecat Oktober tahun lalu.
Menurut Anis Matta, Yusuf dipecat karena menyimpang dari garis partai, tanpa perincian jelas. "Kami tidak akan membuka aib saudara sendiri," katanya. Tapi Yusuf menyatakan tak pernah menerima surat pemecatan. Ia dipecat karena dituding menggelapkan uang yayasan yatim piatu. Padahal ia mengatakan hanya meminjam Rp 25 juta dari kader partai. Ia lalu menunjukkan bukti pembayaran utang sebesar Rp 10 juta. Sisanya dia lunasi belakangan.
Di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Yusuf menyerahkan sebundel catatan dan dokumen khusus yang ia tujukan kepada Busyro Muqoddas, Ketua Komisi. Tebalnya 249 halaman kertas folio. Isinya antara lain surat-surat partai, surat pribadi Yusuf kepada sesama ulama dalam Jamaah Ikhwanul Muslimin, pesan pendek dengan sejumlah petinggi Partai Keadilan Sejahtera, juga kliping koran. Johan Budi S.P. juru bicara Komisi mengatakan mempelajari dulu materi laporan. �Apakah masuk domain kami atau tidak, perlu dikaji," kata dia.
Secara terbuka, Yusuf menembakkan tuduhannya kepada Hilmi Aminuddin, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Anis Matta, plus anggota Dewan, Fahri Hamzah. Sejumlah tokoh senior yang tersingkir, seperti Abu Ridho, Mashadi, Tizar Zein, dan Syamsul Balda, menurut beberapa sumber, diam-diam mendukung langkah Yusuf. Mashadi dan Syamsul pernah menjadi anggota Dewan, ketika partai itu masih bernama Partai Keadilan. Mereka bergabung dengan anggota Dewan dari Partai Amanat Nasional membentuk Fraksi Reformasi.
Partai anggota koalisi pendukung pemerintah itu bukannya tak pernah punya masalah. Misalnya ketika para petinggi partai itu menggunakan mantan presiden Soeharto sebagai bintang iklan pada Hari Pahlawan, menjelang Pemilu 2009. Mereka yang tak setuju membentuk Forum Kader Peduli. Toh, konflik hanya terdengar sayup-sayup ke publik. Kali ini, Yusuf Supendi blakblakan dan mengatakan masih punya banyak amunisi. "Ini agenda hingga 2014," katanya.
Pada Kamis dua pekan lalu, Yusuf melapor ke Badan Kehormatan Dewan. Ia mengadukan Luthfi Hasan Ishaaq, yang dituduhnya mengelola dana Pemilu 1999. Menurut dia, 94 persen dana pemilu partai itu berasal dari sumbangan Timur Tengah. Ketua Badan Kehormtan Nudirman Munir menyatakan segera menggelar rapat pleno untuk membahas laporan Yusuf. �Kami agendakan pekan depan," kata dia, Kamis pekan lalu. Luthfi enggan menanggapi tuduhan ini. "Kami tak tahu apakah laporan itu ada bukti-buktinya," ujarnya.
Tiga hari setelah ke komisi antikorupsi, Yusuf mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia merasa terancam. Ia juga merasa mendapat teror dengan adanya tanda silang dalam lingkaran cat merah di pagar rumahnya.


l l l

PANGKAL "surat sakti" yang diserahkan Yusuf ke komisi antikorupsi itu adalah pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007. Ketika itu, Partai Keadilan Sejahtera, yang memenangi perolehan suara di Jakarta pada pemilihan sebelumnya, percaya diri mengusung calon gubernur Adang Daradjatun dan calon wakilnya, Dani Anwar. Pasangan ini bersaing dengan Fauzi Bowo-Prijanto. Adang-Dani kalah.
Menurut Yusuf, sebagian "mahar"-setoran dari Adang agar bisa menggunakan partai itu sebagai kendaraan dalam pemilihan gubernur-telah digelapkan Anis Matta, yakni Rp 10 miliar dari total Rp 40 miliar yang disetorkan Adang. Yusuf mengatakan Dewan Syariah PKS Wilayah Jakarta pernah membuat tim investigasi untuk mengusut dugaan penggelapan ini. Tim diketuai Abdul Azis, ketua dewan syariah wilayah. Tim itu telah meminta klarifikasi kepada sejumlah orang.
Kepada Adang, partai itu mengajukan proposal untuk biaya pemenangan sebesar Rp 200 miliar. Pada tahap awal, mantan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ini mengucurkan Rp 40 miliar. Tapi, kata sumber itu, Adang kecewa karena partai kurang gereget berkampanye. Dari Rp 40 miliar yang masuk PKS itu, menurut Yusuf, Rp 10 miliar dipinjam Anis.
Menurut Yusuf, untuk mengakali agar sumbangan sesuai dengan ketentuan-yang membatasi sumbangan maksimal perorangan Rp 50 juta dan perusahaan paling tinggi Rp 350 juta-sumbangan itu dibagi-bagi ke dalam "paket" kecil dengan berbagai nama penyumbang. Padahal hampir semua sumbangan itu dari Adang. Hal ini dibantah oleh Triwisaksana, Ketua PKS DKI Jakarta yang dulu terlibat dalam tim pemenangan Adang. "Semua sudah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum," kata Triwisaksana. "Tak ada persoalan."
Sumber lain mengatakan, kepada tim investigasi, Anis mengakui membelanjakan sejumlah uang untuk membeli dua mobil, masing-masing seharga Rp 900 juta. Satu mobil untuk Anis Matta dan satu lagi untuk Fahri Hamzah. Ada juga uang untuk membeli dua mobil Toyota Harrier masing-masing seharga Rp 850 juta untuk dua petinggi partai lainnya. "Ini pengakuan Anis dalam tulisan tangan," ujar sumber itu.
Fahri terbahak-bahak ketika dimintai konfirmasi. "Laporan keuangan partai kami yang terbaik," kata anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu. Adapun Anis menjelaskan, di dalam partainya tidak ada pendekatan personal. Semua dikelola secara kolektif. Ia memang koordinator pemenangan Adang. "Tapi soal detailnya saya tidak ikut."
Abdul Aziz, ketua dewan syariah partai wilayah Jakarta, mengakui memang berencana menginvestigasi tudingan buat Anis itu. Tapi ia mengatakan ada hambatan aturan yang tidak memungkinkan dewan syariah wilayah "mengadili" pengurus pusat. "Kami serahkan selanjutnya ke dewan syariah pusat," katanya.
Abdul Aziz lalu membawa perkara ini ke Ketua Dewan Syariah Pusat, Surahman Hidayat. Surahman lalu melaporkannya ke Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin. Tapi laporan ini ditanggapi Hilmi dengan mengeluarkan semacam surat perintah penghentian pemeriksaan. Surat inilah yang disebut Yusuf Supendi sebagai "surat sakti". Inti isi surat itu adalah pernyataan Hilmi bahwa perkara ini syubuhat (samar-samar). Karena itu, Hilmi melalui surat meminta Abdul Aziz berprasangka baik sebagai sesama manusia dan "saudara di jalan Allah".
Tempo berusaha mendapatkan konfirmasi Hilmi, baik melalui telepon maupun pesan pendek. Bahkan tiga kali mendatangi Pondok Madani di Lembang, Bandung, tempat dia tinggal. Tempo juga meminta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Suripto, yang Jumat pekan lalu bertandang ke Lembang, menyampaikan permohonan wawancara. Suripto menyatakan sudah menyampaikannya kepada Hilmi, tapi sang bos belum mau diwawancarai. Soal semua tuduhan yang diarahkan ke Hilmi, menurut Suripto, "Kata beliau, itu tak benar."


l l l

KONFLIK di tubuh partai itu sebetulnya mulai terasa pada 2004. Beberapa waktu seusai pemilihan anggota legislatif, partai itu tidak mengajukan calon presiden sendiri. Untuk itu, partai ini harus menentukan pilihan pada kandidat yang ada: Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Yusuf mencatat, Majelis Syura memutuskan calon presiden pada Juni 2004 di Vila Nurul Fikri, Anyer, Banten. Dari 48 anggota Dewan Syura, 70 persen mendukung Amien Rais dengan alasan ia lokomotif reformasi. Apalagi Partai Keadilan dan Partai Amanat Nasional berada dalam satu fraksi bernama Fraksi Reformasi di Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004.
Meski begitu, ada juga yang mendukung Wiranto. Jumlahnya 20 persen dari anggota Dewan Syura. Sisanya abstain dan ada suara 2,5 persen untuk Hamzah Haz. Dukungan untuk Wiranto diberikan oleh Hilmi dan Anis. Yusuf menuding Hilmi dan Anis memperoleh imbalan dari mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu. Ia menunjuk sikap Hilmi yang melawan suara mayoritas Majelis Syura.
Tudingan itu dibantah Anis. "Saya mendukung Wiranto semata-mata karena beliau punya peluang besar menang," katanya Kamis pekan lalu. Sebab, Wiranto baru memenangi konvensi Golkar. Pemilu legislatif 2004 juga menunjukkan suara Golkar paling besar. Namun, katanya, begitu Majelis Syura mendukung Amien Rais, dia pun patuh.
Wiranto, melalui ajudannya, menyatakan tak ingin menanggapi soal ini. Sekretaris Jenderal Partai Hanura Dossy Iskandar, yang pada 2004 masuk tim sukses Wiranto, menyatakan tak tahu detailnya. Apalagi Partai Keadilan Sejahtera memang tak menyokong Wiranto. "Kami tak tahu-menahu," ujarnya.
Geger di tubuh Partai Keadilan Sejahtera sepertinya terus bergulir. Anis menyatakan partainya masih akan diserang dengan sejumlah isu. Adapun Yusuf mengatakan, "Ini menegakkan kebenaran."
Burhanuddin Muhtadi, peneliti Lembaga Survei Indonesia, melihat konflik ini melibatkan kubu "ideologis" dan kubu "pragmatis" partai itu. Ia mengatakan generasi awal partai, seperti Yusuf Supendi, Syamsul Balda, Mashadi, dan Abu Ridho, merupakan kubu ideologis. "Mereka berpendapat, partai tak usah besar-besar, cukup lolos electoral threshold, tapi tetap istikamah," ujarnya. Adapun kubu pragmatis berharap partai terus besar agar bisa mencapai tujuan: menegakkan syariah. "Kubu ini lebih permisif, termasuk dalam penggalangan dana," kata Burhanuddin, yang menyusun tesis doktornya dengan meneliti Partai Keadilan Sejahtera.

Sunudyantoro, Pramono, Fanny Febiana (Jakarta), Angga Kusuma Wijaya (Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar